Desa kanekes (Suku Badui)
Wednesday, 22 August 2018
3 Comments
Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai macam suku yang menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Kali ini saya akan melakukan sebuah perjalanan ke desa baduy, sudah lama saya ingin berkunjung kesini tapi enggak ada yang bisa di ajak doubletrip, setelah mencari-cari teman perjalanan, akhirnya saya memutuskan ajak perempuan yang dari dulu dia mulu yang selalu ayok kalau mau di ke tempat wisata, biarpun jauh asti namany. Sesungguhny bosen juga gue hehe ssst.. haha.
kitapun memutuskan waktu yang tepat untuk pergi kesana. Selasa sore pukul 17.00 kita berangkat menggunakan motor, rencana lewat bogor - jasinga - rangkas bitung - ciboleger, dan ternyata muacetnya gak sanggup, bisa sampe jam berapa kesana. Karna perut sudah berteriak dan jalanan masih padat akhirnya saya melipir kesebuah warung bakso jeletot yang katanya pedasnya gak terampuni. Menunggu pesanan sambil berfikir nyari jalan pintas, menggunakan gomap. (Google map).
Setelah perut terisi kitapun melanjutkan perjalanan ngambil jalur jl.margonda depok. Alamak efek dari bakso pedas itu mulaai terasa sesuatu trjadi pada perut gue, mules, perih, dan ngebelit, disitu w melipir dan tak lama muntah-muntah. Dari sinilah awl perdebatan gue ama asti, dia yang pengen puter balik ke jakarta karna takut terjadi sesuatu, gue tenangin aja dia. Setelah perut gue agak enakan kita melanjutkan kembali perjalanan, yang awalny asti pengen balik jakarta, ya gue paksa dia. Yang nyupir w ini hehe. Beberapa menit berlalau kita mulai memasuki jalanan yangbergelombang gda mulus-mulusnya. dari sini si vega (motor gue) ngadat rante gue putus alias copot dri gearnya, setelah di service ama bengkel trdekat, kita melanjutkan perjalanan kembali.
pukul 22.10 gue baru sampe rangkas dan membuka kembali gomap yg w aktivin sedari tadi, dari sini w dan asti berdebat lagi, dia pengen balik jakarta katanya ini tanda dengan alasan, 1, gue muntah-muntah, 2. Rante copot 3. Gue gak tau jalan, w bantah semua yang dia fikirin karna w enggk percaya firasat gituan, toh emang bener nyata itumh gue mules, dan akhirnya dia mau lanjutin tpi setelah gue paksa hehe.
Setelah beberapa mrnit dari perdebatan tadi kita beristiraha di sebuah warung madura, ngopi-ngopi smpai jam set 3 itu juga karna si abangny mau tutup.
Kita melanjutkan perjalanan dengan keadaan jln bergelombang, hutan dan licin karna sehabis hujan, akhirnya kita sampe di terminal ciboleger pukul 04.30, setelah beberapa saat muncul pemandu kita namanya kang egra, setelah beberapa x ngobrol ngalor ngidul dan penawaran untuk gued, kami ke pedalaman, akhirny kita deal 150k dari 300k, trnyata yang nganter kami adalah temanny , engkos dan johan.
Pukul 05.00 Perjalananpun di mulai setelah kaki melangkah ke daerah suku baduy luar gelap gulita ternyata benar mereka enggak pernah pake listrik. Suasanya adem, sunyi, tinggal suara melodi binatang-binatang malam yang membut malam semakin syahd
Karna kepengen tauan saya tentang smuany yang disini kepada engkos dan johan.banyak nnya tntang adat agama. Tetnyata yg di ceritain yang ada di sosoamed" itu semua hoax. Banyak sih larangan tapi nggk sprti yg d jlaskn juga.
Sepanjang perjalanan kami d suguhkan dengan pemandangan desa dan orang - orang, seperti hidup di jaman dulu dengan penerangan pake lampu minyak, rumah panggung, suara malam yang terdengar cuma binatang-binatang malam. Lanjut menyusuri jalan setapak sambil ngobrol tntang suku baduy ini.
Ternyata suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar. Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar.Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas baduy dalam juga gk pernah menggunakan celana dalam (tutur guid kami).
Suku baduy (dalam dan luar) terduru dari kurang lebih 57 kampung/desa, dimana suku baduy dalam terdiri dari 3 kampung cibeo,cikatawarna, dan cikeusik dan sisany adalah suku baduy luar. Keduany dibawahi oleh 7 jaro atau kepala adat yaitu;
Kampung Cobeo dipimpin oleh Jaro Sami (Baduy Dalam)
Kampung Cikata warna oleh Jaro Jaming (Baduy Dalam)
Kampung Cikeusik oleh Jaro Alim (Baduy Dalam)
Jaro Dainah (Baduy Luar)
Jaro Sedi (Baduy Luar)
Jaro Arji (Baduy Luar)
Dan Jaro Warga (Baduy Luar)
Khusus untuk suku Baduy Dalam, selain Jaro, ada juga seorang Pu’un atau orang yang dianggap sakral oleh masyarakat Baduy Dalam, yaitu :
Pu’un Jasdi di kampung Cibeo
Pu’un Sangsang di kampung Cikatawarna
Pu’un Yasih di kampung Cikeusik
Pu'un tidak bisa digantikan oleh warga baduy biasa,tetapi harus keturunan pu'un saja. (seperti raja).Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu'un selaku ketua adat tertinggi dibantu dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.
Seorang Pu’un diperlakukan spesial oleh masyarakat suku Baduy Dalam karena kelebihan tersebut diatas. Pu’un sudah terbiasa berkholwat (menyendiri) di tempat tertentu hingga berminggu-minggu lamanya, jarang sekali keluar rumah, dan tempat mandi pu’un juga di khususkan. Perkataan seorang Pu’un selalu dita’ati oleh warga Baduy Dalam.
Kampung Cibeo sendiri terdiri dari kurang lebih 98 rumah yang dibangun secara gotong royong oleh warga. Sekali bergotong royong membangun rumah, dalam sehari mereka bisa mengerjakan hingga maksimal15 rumah. Dalam prosesi pembangunan rumah selalu diawali dengan upacara, dan prosesnya melibatkan Pu’un serta seluruh warga Baduy Dalam, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa.
Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang, bertani dan menenun. Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa madu, kopi, padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy. Sawah mereka berbentuk unik. suku Baduy menanam padi seperti menanam tanaman palawija, tanpa ada air yang menggenang. Cara menanam seperti itu sering disebut mereka dengan istilah Gogoh. Padi hasil tanaman suku Baduy berwarna agak kemerahan, berbeda dengan padi pada umumnya. Selain padi, suku Baduy Dalam rajin menanam umbi-umbian untuk cadangan makanan disaat musim kemarau. Mereka menyimpan panen padi di lumbung padi yang dibangun terpisah dari rumah mereka. Sekumpulan bangunan lumbung dijadikan dalam satu kawasan, dimana satu bangunan lumbung padi dimiliki oleh satu keluarga.
Kampung Cibeo sendiri terdiri dari kurang lebih 98 rumah yang dibangun secara gotong royong oleh warga. Sekali bergotong royong membangun rumah, dalam sehari mereka bisa mengerjakan hingga maksimal15 rumah, Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya. Dalam prosesi pembangunan rumah selalu diawali dengan upacara, dan prosesnya melibatkan Pu’un serta seluruh warga Baduy, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa.Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.
Alat musik mereka adalah angklung, digunakan pada saat upacara adat dan penyambutan tamu, sedangkan accesories yang sering mereka gunakan antara lain anting, kalung, cincin, dan gelang yang semuanya dibuat dari bahan-bahan alam non logam. Satu ciri lagi bagi seorang Baduy Dalam adalah selalu terselip golok di pinggang dan tas khusus yang di silangkan di bahu. Jika bepergian keluar kawasan, bekal salin dan makanan ditenteng didalam buntelan kain.
Pada dasarnya mereka sangat mempercayai karma. Keyakinan yang mereka anut adalah Sunda Wiwitan, sama dengan suku sunda zaman lampau. Percaya adanya tuhan tapi tidak mengimaninya. Suku Baduy Dalam memprioritaskan Tuhan di urutan pertama, disusul dengan Warga Baduy dan Alam di urutan kedua, serta Mekkah/Ka’bah di urutan Ketiga. mereka menganggap dipercaya oleh Tuhan untuk mengatur dan menyatu dengan alam untuk keseimbangan alam semesta. Oleh karenanya mereka sangat menjaga amanah tersebut dengan menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Jalan di kampung Baduy Dalam mengikuti pola air mengalir, hanya ada jalan setapak tanpa bentuk campur tangan dan desain tangan ataupun bekas cangkul.
Jika seorang anak wanita Baduy Dalam sudah menginjak usia 15 tahun, si orang tua akan segera menjodohkannya dengan Laki-laki Baduy Dalam. Bagi kaum laki-laki, sebelum dijodohkan mereka bebas memilih perempuan mana yang akan menjadi istrinya nanti.
Pada saat seorang Baduy Dalam meninggal dunia, upacara adat pun diadakan, dipimpin oleh seorang Pu’un dengan mengadakan ngariyung upacara pemakaman. Jika meninggalnya di dalam kawasan Baduy Dalam, maka upacara segera diadakan. Namun jika meninggalnya di luar kawasan Baduy Dalam, jasad akan di simpan dahulu di sebuah bangunan seperti lumbung padi. Setelah upacara pada hari pertama meninggal, dua upacara lagi diadakan, yaitu pada hari ketiga dan hari ke tujuh. Pemakaman suku Baduy Dalam sangatlah alami, mereka hanya dikubur di hamparan kebun bambu tanpa nisan dan gundukan tanah untuk kemudian lahan kebun tersebut ditanami tumbuh-tumbuhan.
Pada bulan tertentu suku Baduy Dalam melakukan puasa yang dikenal dengan istilah Kawalun. Waktu puasa di mulai sejak dini hari pada saat ayam berkokok hingga waktu petang saat matahari tenggelam. Biasanya pada bulan Februari sampai dengan April setiap tahunnya (3 bulan). Pada musim kawalun, Baduy Dalam tidak menerima tamu dari luar. Suku Baduy Dalam sangat anti terhadap alat transportasi. Mereka sangat terkenal dengan budaya jalan kaki. Jika mereka melanggar menggunakan alat transportasi, maka akan dihukum oleh ketua adat selama 41 hari dikucilkan di hutan adat, bekerja tanpa dibayar dan hanya di beri makan saja. Jika tidak mau menjalani hukuman, maka si pelaku akan dikeluarkan dari Baduy Dalam, dan menjadi suku Baduy Luar.
Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni dunia. Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan, berbeda sekali dengan suku baduy luar, saya mendengar dari johan (guide kami) bahwa mreka bnyak yg pernah punya mobil, saya tercengang waktu itu.
Alat minum suku Baduy terbuat dari bambu, sedangkan alat makan mereka menggunakan mangkuk seperti mangkuk pada umumnya. Sedangkan untuk memasak, mereka menggunakan tungku api yang berada di dalam rumah. Dandang dan wajan terbuat dari kuningan, sedangkan untuk menenak nasi menggunakan anyaman bambu dan gayung air minum menggunakan batok kelapa dengan tangkai ranting pohon. Sementara untuk mengaduk minuman menggunakan sumpit bambu.
Alat minum suku Baduy terbuat dari bambu, sedangkan alat makan mereka menggunakan mangkuk seperti mangkuk pada umumnya. Sedangkan untuk memasak, mereka menggunakan tungku api yang berada di dalam rumah. Dandang dan wajan terbuat dari kuningan, sedangkan untuk menenak nasi menggunakan anyaman bambu dan gayung air minum menggunakan batok kelapa dengan tangkai ranting pohon. Sementara untuk mengaduk minuman menggunakan sumpit bambu.Pada saat mandi mereka tidak menggunakan sabun, sikat gigi mereka menggunakan siwak dan tepes kelapa dicampur dengan gamping yang dihaluskan sebagai pasta gigi.
Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun 1990. Kawasan yang melintas dari Desa Ciboleger hingga Rangkasbitung ini telah menjadi tempat bermukimnya Suku Baduy yang menjadi suku asli Provinsi Banten. Wisatawan juga bisa mengunjungi suku ini melalui Terminal Ciboleger sebagai pemberhentian terakhir kendaraan bermotor.
Enggak kerasa kita ngobrol selama perjalanan dan ngopi-ngopi sampil menikmati alam nan asri ini waktu sudah menunjukan pukul 11.00 siang, waktunya kami pulang, ingin rasanya saya berlama-lama disini, udara dan keramahan warganya saya suka. sampai ketemu lagi johan, egra, dan engkos. Kita pulang mengikuti gomap dan di temani rintikny ujan (tau aja kalau kita belum mandi), kita melewati jalur rangkas-tigaraksa-tangerang-cikupa-kali deres lanjut pulang kerumah masing-masing.
kau kreen
ReplyDeleteaaaaaaaaaaaa
ReplyDeletetest
ReplyDelete